Kompas, 3 Februari 2007
Solusi di hulu harus berkesinambungan, antara pembatasan penggunaan lahan, reboisasi intensif, dan pembangunan bendungan. Jika hanya satu langkah yang dilaksanakan, langkah lain akan menjadi kurang efektif.
Di hilir, selain pembuatan Banjir Kanal Timur, Firdaus mengusulkan pembuatan penampungan air bawah tanah dalam skala besar atau deep tunnel reservoir. Penampungan air bawah tanah, seperti yang diterapkan Chicago (Amerika Serikat) dan Singapura mampu menampung sekitar 200 juta meter kubik air dan dapat bertahan 125 tahun.
Ide penampungan air bawah tanah adalah menampung semua limpahan air banjir dan limbah cair dari sanitasi lingkungan ke dalam bendungan bawah tanah. Air tampungan itu dapat diolah dan digunakan sebagai cadangan air baku bagi Jakarta.
Saat ini, kata Firdaus, Indonesia menghadapi perubahan iklim akibat pemanasan global. Perubahan iklim tersebut menyebabkan musim hujan lebih pendek, tetapi curah hujan lebih tinggi.
Jika air tersebut tidak disimpan dalam penampungan yang besar, Jakarta akan terancam kekeringan dan banjir dalam waktu yang bergantian sepanjang tahun. Bencana yang akan semakin memiskinkan Indonesia.
Biaya pembuatan penampungan air bawah tanah itu, menurut Firdaus, diperkirakan "hanya" memerlukan Rp 12 triliun. Jumlah tersebut masih terjangkau oleh APBD DKI Jakarta 2007 yang mencapai Rp 21,5 triliun.
(Emilius Caesar Alexey)
Komentar:
Ada solusi yang lebih murah yaitu dengan membangun kolam penampungan atau resapan air hujan pada setiap kompleks perumahan atau RW serta normalisasi sungai dengan penghijauan daerah hulu dan sepanjang sungai yang dilakukan dengan semangat gotong royong masyarakat.
(HouwLiong)
No comments:
Post a Comment