22 October 2010

DAILY CROSS CORRELATION MODELING OF IONOSPHERIC VARIATION OVER INDONESIA

DAILY CROSS CORRELATION MODELING OF IONOSPHERIC VARIATION OVER INDONESIA FROM GPS DATA
Math and Sciences Open Conference Systems

Creator Buldan Muslim; Space Science Application Center of Indonesian National Institute


Description BULDAN MUSLIM 1,2), Hasanuddin Z.A. 3) , The Houw Liong 2), Wedyanto Kuntjoro 3) and Asnawi 1) 1)Ionosphere and Telecommunication Division Space Science Application Center of Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) Jl. Dr. Junjunan 133 Bandung 40173 buldanms@yahoo.com 3)Program Study of Geodetic and Geomatics Faculty of Civil Engineering and Environments Bandung Institute of Technology Jl. Ganesha 10 Bandung 2)Program Study of Physics Faculty of Natural Science and Mathematics Bandung Institute of Technology Jl. Ganesha 10 Bandung

Abstract
Daily cross correlation modeling of vertical total electron content deviation from monthly mean derived from GPS data in Indonesian sector have been used to study global and local ionospheric disturbances. High cross correlation coefficients indicate that ionospheric variability is occurred at global scale. In contrast the low correlation coefficients indicate the local phenomena give significant contribution to ionospheric variability. The daily cross correlation model over Indonesia have been examined in it's application to detect global ionospheric disturbances as sudden ionospheric disturbance and ionospheric storm, and local of ionospheric disturbance as ionospheric precursors of earthquake, influence of volcanic activity to ionosphere and ionospheric irregularity induced by large thunderstorm.
Keywords : Total electron content, ionosphere variations, cross-correlation,model, local phenomena.

Publisher International Conference on Mathematics and Natural Sciences

Date 2007-10-12
Type Peer-reviewed Paper

Recursive/Iterative Structure of Multiple Input Fuzzy Controllers

Recursive/Iterative Structure of Multiple Input Fuzzy Controllers with
Unequally Spaced Triangular Membership Functions
MOHAMMAD ROHMANUDDIN1, HOUW-LIONG THE2, ADANG S. AHMAD3,
YUL Y. NAZARUDDIN4
1) Department of Engineering Physics, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
2) Department of Physics, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
3) Department of Electrical Engineering, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
4) Department of Engineering Physics, Institut Teknologi Bandung, Bandung, INDONESIA
Abstract: - In conventional rule based fuzzy control systems, the rules have the form of "IF THEN ." The number of rules increases exponentially as the number of system variables, upon which the fuzzy rules are based, is increased. Some papers showed that, by structuring the rules in a hierarchical way, the total numbers of rules was a linear function of the system variables. In this paper, it is shown that multiple input fuzzy controller of certain class can be represented by recursive/iterative structure of single input fuzzy controllers, upon which each input is applied. As another major result, if there are m input variables, with each universe of discourse divided into (2n+1) fuzzy sets, then the total number of parameters to be determined can be reduced to (m+n). The use of shrinking-span membership functions reduced the total number of parameters to (m+2).

Key-Words: - fuzzy controller, single input, multiple input, multi-layer, unequally spaced membership functions, shrinking-span membership functions, recursive structure, iterative structure.

20 October 2010

Perkiraan Wujud Komputer Cerdas Masa Depan

Perkiraan Wujud Komputer Cerdas Masa Depan Melalui Penerapan Kecerdasan Buatan
The Houw Liong
Departemen Fisika, ITB

Abstrak
Perkembangan kecerdasan buatan atau inteligensi artifisial (IA) memberi arah bahwa supaya komputer masa depan yamg dijalankan dengan program IA mampu menirukan kemampuan otak manusia seperti menalar, mengenali pola, melakukan generalisasi, swatata (selforganized), memori asosiatf ,dll. Untuk mencapai tujuan itu ilmuwan meneliti cara kerja otak dan arsitektur otak manusia.
Berdasarkan hasil penelitian itu dibangun model matematik neuron serta susunan neuron (arsitekturnya) yang dapat melakukan fungsi pengenalan pola, generalisasi, memori asosiatif, swatata, dll. Fungsi otak itu dapat disimulasikan dan dikenal sebagai Jaringan Neural Artifisial (JNA) atau Jaringan Sel Saraf Tiruan (JST).
Selain itu dapat juga dibangun perangkat keras yang disebut neural chip yang menirukan fungsi neuron dan dapat disusun menjadi neural card yang dapat dipasang dalam komputer sehingga berlaku sebagai ko-prosesor untuk menangani masalah IA.
Proses penalaran dapat ditiru dengan membangun motor inferensi (search engine) serta basis kaidah atau kaidah samar yang dapat mencari solusi suatu permasalahan melalui penerapan kaidah dan proses pencarian solusi. Perkembangan selanjutnya menyatakan bahwa kaidah dapat dipetakan ke jaringan neural.
Perkembangan itu memungkinkan terbentuknya komputer yang berlandaskan jaringan neural. Untuk dapat menirukan otak manusia diperkirakan diperlukan jumlah neuron yang sangat banyak yaitu sekitar 10^11 dan jumlah sinapsis sekitar 10^15 sehingga teknologi mikroprosesor yang sekarang belum mampu melaksanakannya, diperkirakan kita harus beralih ke teknologi fotonik dan komputer optik untuk melaksanakannya.
Perkembangan lain yang menarik perhatian ilmuwan ialah berkembangnya komputer kuantum yang diperkirakan mempunyai kemampuan lebih besar dalam mensimulasikan proses alam dan dalam komputer kuantum. Logika samar yang biasa dipakai oleh manusia dapat diproses secara alamiah karena qubit (quantum bit) dapat disuperposisikan untuk merepresentasikan keadaan samar atau pernyataan samar.

Kata kunci: inteligensi artifisial, JNA, JSST, logika samar, neuron, fotonik, komputer optik, komputer kuantum, qubit

Abstract
The development of Artificial Intelligence shows that the future computer should be able to imitate the abilities of human brain such as to make logical inferences , pattern recognition, generalization, selforganize, associative memory, etc. To realize such abilities scientists are studying the mechanism and architecture of the brain.
Based on this knowledge they build mathematical model of neurons and their architectures, so that they are able to imitate pattern recognition, generalization, self organized, etc. The brain function can be simulated and it is known as Artificial Neural Networks (ANN).
Besides software, scientists can build neural chips and neural cards that can be plug on computers to function as coprocessors to solve problems that needs intelligent solutions.
Logical inferences can be imitated by building inference engine and knowledge based or fuzzy rules based. Further development indicates that these can be map into ANN.
The development makes it possible to build computers based on ANN. To imitate human brain it needs 10^11 neurodes (artificial neurons) and 10^15 synapses, and to realize it we needs to develop photonics and optical computers.
The other development is the development of quantum computers which have greater abilities to simulate natures. Fuzzy logic which is used by a human being can be processed naturally by quantum bits (qubits) which can be superposed to represent fuzzy states or fuzzy statements.

Key words : artificial intelligence, ANN, fuzzy logic, neuron, photonic, optical computer, quantum computer, qubit

18 October 2010

Kaitan antara Aktivitas Matahari dengan Iklim

Kaitan antara Aktivitas Matahari dengan Iklim
The Houw Liong
P.M Siregar

Penelitian kaitan antara aktivitas matahari dan sejumlah unsur iklim di bumi menunjukkan adanya korelasi yang kuat,misalnya kaitan antara panjang siklus sunspot dengan suhu permukaan dalam selang 130 tahun terakhir1),diperkuat penelitian lain untuk selang waktu 240 tahun2),dan perbandingan deret waktu global suhu muka laut terhadap data jangka panjang sunspot3). Data yang digunakan adalah siklus 11 tahunan bilangan sunspot Zurich dan berbagai unsur iklim,hasilnya menyimpulkan adanya keserupaan yang menyolok.
Tahun 1848 Rudolph Wolf menemukan metoda penaksiran aktivitas matahari dengan menghitung jumlah bintik individu and grup pada permukaan matahari. Wolf menghitung bilangan sunspot dengan menghitung 10 kali grup ditambah perhitungan total bintik individu. Wolf memperkenalkan adanya siklus bilangan sunspot dengan panjang 11.1 tahun yang diperoleh dari rekaman sejarah.

Gbr.1 Rata-rata tahunan bilangan sunspot tahun 1610-2000

Ada dua kantor yang mengeluarkan data bilanagan sunspot. Pertama adalah "Boulder Sunspot Number," oleh NOAA Space Environment Center menggunakan formula R=k (10g+s),dimana R adalah bilangan sunspot,g adalah bilangan sunspot grup pada piringan matahari,s adalah jumlah total bintik individu didalam semua grup,dan k adalah factor skala (k biasanya <1) yang diukur menggunakan telescope (binoculars, space telescopes, dll). Kedua adalah "International Sunspot Number," dipublikasikan oleh Sunspot Index Data Center di Belgia.
Sunspot didefenisikan sebagai bintik gelap pada permukaan matahari. Suhu pada pusat bintik gelap sunspot adalah turun menjadi sekitar 3700 K (dibandingkan dengan 5700 K sekeliling fotosfer). Sunspot merupakan daerah mangetik pada matahari dengan kekuatan 1000 kali dari medan magnet bumi.

Gbr.2 Sunspot

Minimnya ilmuan Indonesia dan asing yang tertarik tentang masalah kaitan sunspot terhadap iklim di wilayah Indonesia,sehingga pemahaman tentang kasus ini belum secara mendalam banyak terungkap. Berikut ini adalah usaha-usaha yang sudah dilakukan di Indonesia untuk mempelajari kaitan tersebut. Proses-proses cuaca musiman di wilayah Indonesia,intensitansnya cenderung dimodulasi oleh siklus jangka panjang yakni: siklus ENSO 4-6 tahunan ,dan pembangkit cuaca musiman dengan siklus 11-tahunan. Siklus cuaca jangka panjang ENSO,dan siklus sebelas tahunan atau harmoniknya belum diketahui mekanismenya. Karena siklus jangka panjang berdampak global,maka tersebut harus diketahui mekanismenya4,5). Penerapkan teknik filter fungsi orthogonal emperis (EOF) berhasil mengungkapkan pembangkit cuaca utama yang mendominasi dinamika atmosfer di Wilayah Indonesia. Berdasarkan pengamatan karakter frekuensi dan kekuatan sinyal spekralnya,hujan di wilayah Indonesia dapat digolongkan dua kategori. Pertama,siklus hujan monsun satu tahunan yang merupakan pembangkit hujan paling dominan. Kedua siklus hujan berfrekuensi tahunan meliputi: La Niña siklus 4-6 tahunan, dan osilasi hujan 11-tahunan , mungkin merupakan harmonik dari siklus TTO (Ten to Twelve Oscillation). Siklus 11-tahunan meskipun kuat sinyal dayanya,karena terletak di daerah spektral beresolusi rendah cenderung tidak stabil, sinyal melebar dalam batas 14,4-17,dan 9 tahunan6,7,8,9).
Suhu di stratosfer bawah dan ketebalan troposfer ternyata juga berosilasi dengan siklus 10-12 tahun disebut dengan istilah Ten to Twelve Oscillation (TTO)10). Untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya mekanisme modulasi bersiklus 10-11 tahun secara top-down oleh variabel bersiklus TTO(Ten to Twelve Oscillation) di stratosfer bawah. Korelasi antara tebal tropopaus dengan bilangan sunspot 10-11 tahunan mencapai sekitar 0.7 pada lintang rendah dan mengecil kearah kutub. Uji-t dilakukan untuk menguji apakah keterkaitan antara sunspot dengan tebal tropopaus ada,hasilnya dapat diterima. Kemudian dilakukan analisis spektral gangguan gelombang Kelvin dan Rossby-Gravity yang bekerja diatas tropopaus untuk mendukung model mekanisme. Karena mekanisme pembangkitan cuaca oleh sunspot ini masih belum dipahami,maka sebagai kandidat mekanisme iklim-sunspot, harus dibuktikan bahwa sirkulasi meridional ini diintensifikasi oleh kejadian sunspot maksimum.
Dalam penelitian lain mengkaji kemungkinan bahwa,jika variabilitas matahari diperhitungkan secara serius sebagai salah satu faktor dominan dalam perubahan iklim,terbuka peluang yang besar untuk memperkirakan sejumlah besar ciri utama iklim tanpa keharusan melibatkan superkomputer. Ciri-ciri Chaotic iklim tidak perlu menjadi rintangan dalam metoda predisksi semacam itu. Kebergantungan yang sensitif tehadap kondisi awal hanya berlaku dalam kasus proses-proses dalam sistem iklim. Pendapat lain menyatakan bahwa hanya sistem non-periodik yang memiliki prediktabilitas terbatas. Sistem-sistem eksternal yang periodik dan quasi-periodik dapat secara positif memasukkan ritmenya dalam sistem iklim. Ini berlaku dalam kasus perubahan periodik siang-malam dan siklus Milankovitch. Variasi luaran matahari bersifat periodik atau quasi-periodik,sehingga siklus 11-tahunan sunspot memenuhi syarat-syarat ini,tetapi tidak memainkam peranan utama dalam prediksi praktis. Yang terpenting adalah siklus matahari tanpa pengecualian terkait dengan osilasi matahari sekitar pusat massa tatasurya dan membentuk fraktal menjadi siklus-siklus dengan panjang yang berbeda-beda18).
Bukti yang memperkuat bahwa sistem iklim yang terus-menerus mengalami perubahan ini sangat dipengaruhi oleh dinamika sistem matahari-bumi yang distimulasi oleh gaya variabilitas luaran matahari,semakin terasa adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengintegrasikan efek variabilitas matahari dan dinamika sistem matahari-bumi ke dalam model atmosfer global. Perlu dilakukan perubahan penting terhadap detail konsep kesetimbangan energi yang diimplementasikan dalam pemodelan atmosfer global. Perubahan dimaksud adalah menjadikan konstanta matahari sebagai suatu variabel sehingga pemanasan global netto tidak lagi hanya bergantung pada suhu dan konsentrasi gas rumah kaca,tetapi juga pada variabilitas luaran matahari . Perbaikan perlu juga dilakukan terhadap representasi proses umpan balik dalam sistem iklim. Perubahan model iklim ini, secara menyeluruh menghendaki pengintegrasian pemahaman kuantitatif dan kualitatif tentang interaksi komponen mekanisme kopling yang telibat dalam proses perpindahan energi,massa,dan momentum dari suatu daerah ke daerah lainnya dalam sistem matahari-bumi.Perumusan skematik efek gaya eksternal matahari terhadap sistem iklim,menyimpulkan sistem iklim bumi digerakkan terutama oleh variabilitas matahari17,18).
Karakter sinyal spektral peristiwa hujan tahunan adalah akibat siklus monsun,siklus hujan berfrekuensi rendah yakni: La Niña siklus 4-6 tahunan,dan osilasi hujan siklus 11-tahunan. Siklus hujan jangka pendek memodulasi intensitas monsun,pita ITCZ, siklon tropis,dan osilasi Madden Julian 30-60 harian. Mekanisme pembangkit cuaca oleh sunspot harus diketahui, karena sinyal sunspot kuat terlihat pada data curah hujan di wilayah Indonesia akan bisa menjadi kunci pemahaman mekanisme kemunculan ENSO di daerah barat Pasifik termasuk kepulauan Indonesia timur, sehingga memberi keakuratan prakiraan cuaca local dan global yang memerlukan dukungan informasi mekanisme pembangkitan curah hujan di wilayah Indonesia 6).

PUSTAKA

1. Friis-Cristensen,E. and Lassen,.K.,(1991),Length of The Solar Cycle :an Indicator of Solar Activity Closely Associated with Climate,J.sience,254,698.
2. Baliunas,S. and W.Soon,(1996).The Sun-Climate Connection.Sky & Telescope, Dec.,38-41.
3. Reid.G.C,(1987),Nature Vol.329,hal.142.
4. Jamaluddin-T Z.A. and T.W.Hadi,(1994),Associated Sunspot Period in the Spectra of Java rainfall. Eight International Symposium on Solar Terrestrial Physics,Sendai,June 5-10,Japan
5. Jamaluddin-T.Z.A. dan Bayong Tj.H.K.,(1995),Analisa Pengaruh Fluktuasi Sunspot Maksimum Terhadap Curah Hujan Jangka Panjang di P.Jawa,Laporan Penelitian No.15900400495,SPP-DPP,ITB.
6. McBride,J., (1992),The Meteorology of Indonesia and The Maritime Continet. The Fourth International Symposium on Equatorial Atmosphere Observation over Indonesia,Nov,10-11,Jakarta.
7. Salby,M.L.,and D.J Sheaq,(1991),Correlation Between Solar Activity and the Atmosphere:An Unphysical Explanation.,J.Geophys.Res.,96,22,579-22,595.
8. Holton,J.R.,(1992),An Introduction to Dynamic Meteorology,third edition, Academic Press.
9. Johnson.R.A.,and D.W.Wichem,(1992),Applied Multivariat Statistical Analysis, third edition,Prectice Hall,New JerSey.
10. Labitzke,K.,and H.van Loon,(1988),Association between the 11-year Solar Cycle the QBO,and the Atmosphere. Part I: the Troposphere and Stratosphere in the Northern Hemisphere in eintwr.J.Atmos.Ter.Phys.,50,197.
11. Jamaluddin-T.Z.A.and Joko W.,(1996),Wave Disturbation Identification Around the Tropopause Heigh. The Sixth ICEAR Symposium,International Symposium on Equatorial Atmosphere Observation,March,10-12,Bandung.
12. Jamaluddin-T.Z.A.,(1998),Pembangkitan Ketidakstabilan Atmosfer Ekuatorial oleh Aktivitas Matahari Jangka Panjang. Simposium FMIPA-ITB,Jurnal Matematika & SAins In Press.
13. Jamaluddin-T.Z.A.,(1991),Identifikasi Pola-pola Cuaca Ortogonal Melalui Analisa Komponen Utama dan Spektral.TA,Jur.GM-ITB.
14. Cook,E.R. and Kairiukstis,L.A,(1990),Methods of Dendrocronology,Kluwer Academic Publisher,101 Philip Drive,Norwell,MA 02061 USA,or Po Box 17,3300 AA Dordrecht,The Netherlands.
15. Ratag,M.A.,(1999),Dampak Variabilitas Matahari terhadap Vegetasi:Cincin-cincin Kayu, Prosiding lokakarya program Iklim Nasional,126-132,Jakarta.
16. Ratag,M.A.,(1999),Fraktal Variabilitas Matahari dan Kaitannya dengan Dinamika Variabilitas iklim,Prosiding lokakarya program Iklim Nasional,133-144,Jakarta.
17. Ratag,M.A.,(1999),Dinamika Sistem Matahari-Bumi dan Perubahan Iklim Global, Prosiding lokakarya program Iklim Nasional,150-160,Jakarta.
18. Ratag,M.A.,(1994),Perubahan iklim global dan hubungan matahari-bumi, Proc.Media dirgantara LAPAN,101-115.
19. Xu,J.S., (1992),On the Relationship between the Stratospheric Quasi-Biennial Oscilation and Tropospheric Southern Oscilaton,J.Atmos.Sci.,49,725-734.
20. Gage,K.S,Reid,G.C,(1981),Solar Variability and the Secular Variation in the tropopaus. Geophys.Res.Lettter,8,187-190.
21. Hertz,J.,A.Krogh,and R.G.Palmer,(1991),Introduction to Theory of Neural Computation.Addision-Wesley.
22. Ross,T.J.,(1995),Fuzzy Logic with Engineering Application.Mc Graw Hill,New York.