23 October 2009

Higher trends but larger uncertainty and geographic variability in 21st century temperature and heat waves

Published online before print September 8, 2009, doi: 10.1073/pnas.0904495106
PNAS September 15, 2009 vol. 106 no. 37 15555-15559

Higher trends but larger uncertainty and geographic variability in 21st century temperature and heat waves
Auroop R. Gangulya,1, Karsten Steinhaeusera,b, David J. Erickson IIIc, Marcia Branstetterc, Esther S. Parisha, Nagendra Singha, John B. Drakec and Lawrence Bujad
+ Author Affiliations

aGeographic Information Science and Technology Group, Computational Sciences and Engineering Division, Oak Ridge National Laboratory, Oak Ridge, TN 37831;
bDepartment of Computer Science and Engineering, University of Notre Dame, Notre Dame, IN 46556;
cComputational Earth Sciences Group, Computer Science and Mathematics Division, Oak Ridge National Laboratory, Oak Ridge, TN 37831; and
dNational Center for Atmospheric Research, Boulder, CO 80305
Edited by Stephen H. Schneider, Stanford University, Stanford, CA, and approved July 31, 2009 (received for review April 23, 2009)

Abstract
Generating credible climate change and extremes projections remains a high-priority challenge, especially since recent observed emissions are above the worst-case scenario. Bias and uncertainty analyses of ensemble simulations from a global earth systems model show increased warming and more intense heat waves combined with greater uncertainty and large regional variability in the 21st century. Global warming trends are statistically validated across ensembles and investigated at regional scales. Observed heat wave intensities in the current decade are larger than worst-case projections. Model projections are relatively insensitive to initial conditions, while uncertainty bounds obtained by comparison with recent observations are wider than ensemble ranges. Increased trends in temperature and heat waves, concurrent with larger uncertainty and variability, suggest greater urgency and complexity of adaptation or mitigation decisions.

climate change extremes regional analysis
Footnotes

1To whom correspondence should be addressed. E-mail: gangulyar@ornl.gov
Author contributions: A.R.G. designed research; A.R.G. and K.S. performed research; D.J.E., M.B., J.B.D., and L.B. contributed new reagents/analytic tools; K.S., E.S.P., and N.S. analyzed data; and A.R.G., K.S., and D.J.E. wrote the paper.
The authors declare no conflicts of interest.
This article is a PNAS Direct Submission.
This article contains supporting information online at www.pnas.org/cgi/content/full/0904495106/DCSupplemental.

15 October 2009

JTM: ANALISA DINAMIKA AWAN KEJADIAN HUJAN EKSTREM DKI-JAKARTA dengan WRF




 



 






MODEL CUACA REGIONAL WRF UNTUK ANALISA DINAMIKA AWAN KEJADIAN HUJAN
EKSTREM DKI-JAKARTA



; Studi Kasus Februari 2007



 



 



oleh:



 



Rahmat Gernowo *; The Houw Liong**;
Tri W.H. ***; N.J. Trilaksono ****



 






Abstract



 



The WRF (Weather
Research and Forecast) model usage to simulated the most of atmosphere dynamics
at the same time cumulus parameter through to the condition of rainfall cumulus
simulation when floods on February 2007 in DKI-JAKARTA.



 



The Result of
this research is a numerical simulation dynamics of cloud rain especially in
area of Jakarta represent to important matter in seeking of step solution the
prevention of floods especially in Jakarta. The research of convection pattern
above area of DKI Jakarta based on to existing perception data, especially high
resolution satellite image which is expected will give the understanding of
pattern growth of convection cloud yield torrential rains and deliver floods in
DKI-JAKARTA.



 



Key Words: Flood, cloud dynamics and satellite image.



 



 



Sari



 



Penggunaan
model WRF (
Weather Research and
Forecast
) untuk mensimulasikan sebagian besar dinamika atmosfer
sekaligus parameterisasi cumulus dan simulasi kondisi curah hujan cumulus saat
banjir Bulan Februari 2007 di DKI-Jakarta.



 



Hasil
penelitian ini adalah
simulasi numerik dinamika awan
hujan khususnya daerah Jakarta, merupakan hal penting dalam pencarian salah
satu solusi langkah penanggulangan banjir khususnya daerah Jakarta.
Pengkajian terhadap pola
konveksi di atas daerah DKI Jakarta berdasarkan data pengamatan yang ada, terutama
citra satelit resolusi tinggi hal mana diharapakan akan memberikan pemahaman
mengenai pola pertumbuhan awan konveksi yang menghasilkan hujan lebat dan
mendatangkan banjir di wilayah DKI-Jakarta.



 



Kata Kunci : Banjir, dinamika awan dan
citra satelit.



 



* Fakultas MIPA Jurusan Fisika
Universitas Diponegoro Semarang



**Fakultas MIPA Jurusan Fisika
Institut Teknologi Bandung



***,**** Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, Instiut Teknologi Bandung



 



 
















I. PENDAHULUAN



 



Wilayah DKI-Jakarta sejak tanggal
30 Januari
sampai dengan tanggal 5
Pebruari 2007 diguyur hujan yang cukup lebat, bahkan pada tanggal 1 sampai 2 Februari
tercatat hujan ekstrim (> 100 mm), kejadian tersebut membawa dampak yang
cukup besar yaitu banjir di sebagian besar wilayah DKI-Jakarta. Bencana alam
banjir, yang melanda hampir 70 % seluruh wilayah di DKI Jakarta, dengan tinggi
genangan berkisar antara 10-250 cm (Sasmito et al, 2007). Anomali perubahan
atmosfer dari curah hujan, sebagaimana dalam gambar 1 distribusi curah hujan
Jakarta, dengan periodisitas waktu curah hujan maksimum terjadi pada
tanggal
1-2 Februari 2007. curah hujan
terbesar diistilahkan sebagai hujan ekstrim Kejadian anomali curah hujan
dapat disebabkan oleh perubahan atmosfer baik karena faktor sinoptik maupun
faktor lokal. Karena siklus curah hujan tropis ini melibatkan peningkatan panas
laten penguapan dan energi skala besar sedemikian sehingga wilayah ekuatorial
menjadi pembangkit sirkulasi umum di atmosfer (Mori et al.2004).



 



1.1.Tujuan Penelitian.



Sebagai kajian awal untuk evaluasi
iklim tropis dan mendapatkan mekanisme serta simulasi numerik dinamika awan
terhadap fenomena terjadinya hujan ekstrem banjir DKI Jakarta tahun 2007.



 



II. METODOLOGI



Dalam penelitian ini dilakukan
pengkajian terhadap pola konveksi di atas daerah DKI Jakarta berdasarkan data
pengamatan yang ada, terutama citra satelit resolusi tinggi hal mana diharapkan
akan memberikan pemahaman mengenai pola pertumbuhan awan konveksi yang
menghasilkan hujan lebat dan mendatangkan banjir di wilayah DKI-Jakarta.
Analisa perubahan atmosfer dari faktor lokal yaitu tipe-tipe awan berdasarkan
data visible satelit yang diperoleh dari pusat data (
http://www.ssec.wisc.edu/datacenter/) University of
Wisconsin-Madison Space Science and Engineering Center
(SSEC) serta data AVN
(Aviation Run)
di (http://dss.ucar.edu) DSS Research Data
Archive
.



Penerapan dan validasi model WRF untuk analisa
dinamika awan hujan DKI Jakarta, dimana model WRF telah mengembangkan suatu
generasi lanjutan (
next-generation)
model peramalan sistem asimilasi skala meso untuk membantu dalam pemahaman dan
peramalan sistem skala meso tentang hujan. Dimana model WRF diaplikasikan dalam
berbagai permasalahan yang mencakup antara lain
meliputi
analisa Fisik meliputi (Skamarock et al., 2005) :



- Mikrofisik (microphysics)



- Parameterisasi awan kumulus (cumulus
parameterization
)



 



Model
WRF
memerlukan input yaitu
data NCEP
global analyses (AVN) dan
data
terrain. Ada beberapa program berikutnya,
yang diperlukan untuk membuat
domain-domain
(batas) daerah penelitian baik dalam program WPS (WRF Pre-Processing System)maupun WRF
dengan menu Ndown.exe dalam
Namelist
editor program tersebut. Sebagaimana dalam gambar.2 merupakan diagram alir
program yang tergabung dalam dua program yaitu
WPS dan WRF kemudian
diperoleh hasil
outputWRF.
Selanjutnya dari output tersebut diolah dengan program
convert to grads, untuk memperoleh hasil numerik yang diharapkan.



 



 



III. HASIL & PEMBAHASAN



 



3.1.Analisa data pengukuran



Fenomena hujan ekstrim tersebut
jika dianalisa berdasarkan pola dinamika awan (data
IR1 temperature)
sebagaimana pada (gambar 3) di DKI-Jakarta pola pertumbuhan awan dimulai
tanggal 31-1-2007, namun pertumbuhan awan maksimum terjadi pada tanggal 1
Februari 2007 yang terjadi pada 16.00 dan 18.00 UTC (23.00-01.00 WIB).



Kejadian siklon tropis (Vortex) tanggal 28-1-2007 pada waktu 00
dan 06 UTC serta tanggal 1-2-2007 waktu 06 dan 12 UTC sebagaimana dalam gambar 4,
dengan hasil analisis menunjukan kejadian siklon tropis (
vortex) diwilayah selatan Indonesia terjadi rata-rata tujuh
kejadian pertahun dengan curah hujan bulanan berada diatas nilai rata-rata
dengan anomaly 12,6 mm (Nasrul, 2004). Hal mana jika efek sinoptik yang
mendominasi maka curah hujan akan terjadi secara menyeluruh sebagai dampak dari
efek tersebut (Roxana and Wajsowicz, 2005).



Kajian lebih lanjut dalam
penelitian ini akan dianalisa dari data AVN untuk tanggal 1 hingga 3-2-2007
daerah DKI-Jakarta, meliputi divergensi angin,

Absolute Vorticity,untuk kejadian banjir periode 2007 yang
diperoleh dari data NCEP/NCAR (gambar 5). Gambar 5a, b dan c terlihat pola
konvergen di atas laut sekitar daerah DKI Jakarta dan laut Hindia, pola
pergeseran dimulai dari tanggal 1-2-2007, mencapai maksimum di atas Pulau Jawa
dan berakhir tanggal 3-2-2007. Dalam gambar 5d, e dan f,
Absolute Vorticity negatif tanggal 1 Februari 2007 diantara laut
Jawa dan laut Hindia, kemudian untuk tanggal 2-2-2007 di atas Pulau Jawa bagian
Barat anomali vortisitas negatif terjadi dan berakhir untuk tanggal 3-2-2007.



 



3.2. Analisa
data Numerik



Kajian terhadap dinamika
awan di Indonesia akan dilakukan berdasarkan penerapan model cuaca numerik
Weather Research and Forecasting yang
merupakan
software open source dikembangkan
oleh
National Center for Atmospheric
Research
(NCAR) di Amerika Serikat (Skamarock 2005). Studi numerik ini adalah merupakan penelitian simulasi
kwantitatip untuk menjelaskan kejadian curah hujan ekstrim bulan
January/February 2007 dalam peristiwa banjir Jakarta Dalam penelitian ini
digunakan WRF Modeling System versi 2, skala regional
non hidrostatis atau model cuaca kwantitatip skala meso yang
dikembangkan oleh Pennsylvania State University / National Center untuk
Atmospheric Research (PSU/NCAR) seperti yang digambarkan oleh Dudhia et al.
(2005).



Aplikasi model WRF menurut Michalakes et al.(1999)
dan
Skamarock et al.(2005) pertama adalah penentuan
daerah domain, hal ini untuk melakukan
downscaling

daerah penelitian (gambar 6). Penerapan model dalam penelitian ini, yaitu
mencakup :
proses mikrofisik (microphysics), parameterisasi awan kumulus (cumulus parameterization), pemilihan luasan atau area daerah penelitian dimaksudkan
untuk dapat diperoleh hasil yang cukup realistis mewakili kondisi yang
sebenarnya. Dalam penentuan batasan daerah penelitian digunakan tiga tingkatan
nesting untuk downscaling data global NCEP-FNL, hal ini untuk menjangkau suatu
pertumbuhan awan dalam radius 3 km arah horisontal yang menghubungkan daerah
yang paling kecil. Proses simulasi domain 1 dan 2 dilakukan secara bersamaan
dalam satu sistem model WRF (WPS), adapun untuk domain 3 dilakukan dengan
menggunakan perintah Ndown.exe dari model WRF. Perlakukan diatas diharapkan
akan diperoleh hasil yang optimal dengan mengurangi kebutuhan waktu simulasi
tanpa mempengaruhi pola dinamika mesoscale dan pemenuhan keterwakilan syarat
batas dan syarat awal daerah penelitian.
(Black et
al., 2002,
De
Beauville and Pontikis
, 1998, Staudenmaier, 1996).



Penerapan model ini dapat dilakukan
dengan teknologi
PC-Cluster yang
memungkinkan fitur komputasi paralel pada model dapat dijalankan. Hasil dari
penelitian ini dapat diterapkan sebagai model dinamika awan untuk menentukan
dan menganalisa proses fisis kejadian iklim ekstrem. Pengkajian terhadap pola
konveksi di atas daerah DKI Jakarta berdasarkan data pengamatan yang ada,
terutama citra satelit resolusi tinggi hal mana diharapkan akan memberikan
pemahaman mengenai pola pertumbuhan awan konveksi yang menghasilkan hujan lebat
dan mendatangkan banjir di wilayah DKI-Jakarta (Tri et. al. 2006)



Sebagaimana
dalam gambar 7 diperoleh perbandingan hasil data AVN untuk tanggal
1-2-2007,
00 UTC (Universal Time Coordinate) dengan hasil simulasi model WRF utuk
vektor angin 2m. Hasil yang diperoleh berupa vektor
angin reanalisis model dari data input
tersebut, sedemikian sehingga diperoleh vektor angin yang lebih rapat, dan
mewakili data input. Dari hasil simulasi model untuk curah hujan gambar 8 dan
tutupan awan horizontal dan vertikal gambar 9 dan gambar 10, dapat dianalisa
bahwa kondisi maksimum terjadi sesuai dengan data tanggal 1-2-2007 sebagai data
masukan model. Pola tutupan awan terjadi pertumbuhan awan konvektif yang s
ecara fisis kejadian
tersebut merupakan proses penyimpanan energi total diatmosfer, kemudian dilepas
secara serentak sehingga mengakibatkan pulsa energi yang besar sekali. Pulsa
energi, dalam hal ini berupa curah hujan yang sangat tinggi. Berdasarkan hal
tersebut, maka curah hujan ekstrim penyebab banjir DKI-Jakarta lebih didominasi
oleh faktor lokal yang merupakan peran aktif perubahan faktor regional maupun
global.



 



IV. KESIMPULAN



Fenomena hujan ekstrim di wilayah
DKI Jakarta untuk kejadian banjir periode 2007, berdasarkan analisa data serta
fenomena (
Vortex) siklon tropis, hal
ini sebagai kajian pengaruh efek global dan regional terhadap kejadian hujan
ekstrem pada periode tersebut. Adapun dari dinamika awan terlihat pola
perubahan awan dari data
IR1 Temperature
di DKI Jakarta, berupa pertumbuhan awan maksimum pada periode 2007, sebagaimana
terlihat pola pertumbuhan awan di DKI Jakarta diakibatkan oleh faktor sirkulasi
atmosfer lokal terlihat dari analisa data AVN saat terjadi hujan ekstrem,
pola data AVN menunjukan perubahan kearah efek
untuk terjadinya konveksi.



Simulasi dinamika
awan banjir DKI-Jakarta tahun 2007 dengan menggunakan model WRF (
weather research and forecast)
berdasarkan data pengamatan satelit dan data analisa global, ditemukan bahwa
ada kondisi sinoptik baik untuk curah hujan konvektif terjadi lintasan migrasi
angin monsun selatan di atas Pulau Jawa. Hasil simulasi diperoleh bahwa
konsentrasi curah hujan konvektif di atas DKI Jakarta dikendalikan oleh
pengaruh yang dikombinasikan dari adveksi dingin, pengembangan lapisan
pencampuran, dan topografi. Dengan data masukan yang sesuai, suatu model cuaca
yang regional seperti WRF berguna untuk analisa cakupan pendek (prediksi Jangka
Pendek; hari) yang diperlukan mengantisipasi peristiwa banjir atau cuaca
ekstrem yang lain berhubungan bencana alam.



 



 



V. DAFTAR PUSTAKA



Black, T., E. Rogers, Z. Janjic, H.
Chuang, and G. DiMego., 2002,:
Forecast guidance from NCEP's high
resolution nonhydrostatic mesoscale model
,Preprints 15th Conference
on Numerical Weather Prediction, San Antonio, TX, Amer. Meteor. Soc., J23-J24.



De Beauville C.A. and
Pontikis C.,1998.,:
Precipitation rate of Tropical Maritime Convective Clouds as Related to
The Coldest Cloud Top Temperatures
.Atmospheric Research 47 -48, 405
413 p.



Dudhia, J. and Co-author,
2005,:
PSU/NCAR Mesoscale Modeling system Tutorial Class Notes and User Guide,
Mesoscale and Micro scale Meteorology Division NCAR



Mori S., Jun-Ichi H., Yudi
Iman T., Yamanaka M.D., Okamoto N., Murata F., Sakurai N., Hashiguchi H., and
Sribimawati T., 2004. ,:
Diurnal Land-Sea Rainfall Peak Migration over
Sumatra Island, Indonesia Maritime Continent, Observed by TRMM Satellite and
Intensive Rawinsonde soundings
, American Meteorological Society, pp
2021-2039.



Michalakes, J., J. Dudhia,
D. Gill, J. Klemp, and Skamarock W., 1999,:
Design of a Next-Generation
Regional Weather Research and Forecast Model
, Towards Teracomputing,
World Scientific, River Edge, New Jersey, pp. 117-124.



Nasrul I., 2004,: Studi
Siklon Tropis Diselatan Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Curah Hujan Jakarta
,
FIKTM ITB Bandung.



Roxana C., and Wajsowicz,
2005,:
Forecasting extreme events in the tropical Indian Ocean Sector
Climate
, Journal Dynamics of Atmospheres and Ocean pp.1-15.



Sasmito A., Haryoko U., dan
Widiatmoko H., 2007,:
Weather Phenomena during Flood Event Over
JABODETABEK Area
, Workshop Harimau, BPPT, Jakarta.



Skamarock W.C., Klemp J.B.,
Dudhia J., Gill D.O., Barker D.M., Wang W., and Powers J.G., 2005,:
A
Description of the Advanced Research WRF Version 2
, Mesosscale and
Microscale Meteorology Division, National Center for Atmospheric Research
Colorado USA.



Staudenmaier, M 1996,: The
Convective Parameterization Scheme in The Meso Eta Model
, Western
Region Technical Attachment pp. 96-23.



Tri W.H., Trilaksono N.J.
and Junnaedhi ID.G.A, 2006,:
A Numerical Study of The Jakarta Flood Event
of January/February 2002 : Simulation of Convective Rainfall Using Regional
Weather Model
�, Progress report ITB Research 2006.





ANFIS Prediction

Prediksi Curah Hujan Bulanan Awal Tahun 2010 dan Pentad Ciliwung Hilir (DKI Jakarta)dan Ciliwung Hulu berdasarkan ANFIS

R.Gernowo, The Houw Liong, F. H .Widodo

 

Hujan awal tahun 2010 untuk DKI Jakarta masih termasuk normal.

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ucapan Terimakasih

Data dari Soetamto, BMKG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Diktat AI Bab II



Diktat



Kecerdasan Artifisial



 



ITHB



 



 



 

 



 



 



Ken Ratri Retno



The Houw Liong



 



 



 



 



BAB II



RUANG
MASALAH DAN PENCARIAN



 



Untuk membangun suatu sistem yang mampu menyelesaikan masalah perlu dipertimbangkan
4
hal :




  1. Mendefinisikan masalah dengan tepat. Pendefinisian ini mencakup spesifikasi yang tepat mengenai keadaan awal dan solusi
    yang
    diharapkan.

  2. Menganalisis masalah serta mencari teknik-teknik penyelesaian masalah yang tepat

  3. Merepresentasikan pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

  4. Memilih teknik penyelesaian masalah yang terbaik.



 



2.1 ���� Mendefinisikan Masalah Sebagai Suatu Ruang
Keadaan



Permasalahan yang dihadapi misalnya permainan catur, maka harus ditentukan :




  1. Posisi awal pada papan catur ; posisi awal
    setiap permainan catur selalu sama yaitu semua bidak diletakkan di atas papan catur dalam dua sisi yaitu
    kubu putih dan kubu hitam.

  2. Aturan-aturan untuk melakukan gerakan secara legal ; aturan-aturan ini sangat berguna untuk menentukan gerakan buah catur , misalnya bidak untuk melangkah dari satu keadaan ke keadaan lain. Misalnya untuk mempermudah posisi buah catur setiap kotak ditunjukkan dengan huruf (a,b,c,d,e,f,g,h) pada arah horisontal dan angka (1,2,3,4,5,6,7,8) pada arah vertikal. Contoh di bawah ini
    menggambarkan aturan di dalam pergerakan
    bidak catur:



JIKA bidak putih pada kotak (e,2)



DAN kotak(e,3) kosong



DAN kotak(e,4) kosong



MAKA gerakkan bidak
putih dari (e,2) ke (e,4)




  1. Sasaran
    (goal
    ) : sasaran yang ingin dicapai adalah posisi pada papan catur yang menunjukkan kemenangan seseorang terhadap lawannya yaitu ditandai dengan posisi raja lawan yang sudah dalam keadaan skakdan tidak dapat bergerak lagi untuk menghindar.



Contoh di atas
menunjukkan representasi masalah dalam ruang
keadaan yaitu suatu ruang yang berisi semua keadaan
yang
mungkin.
Kita dapat memulai bermain
catur dengan menempatkan diri pada keadaan awal,
kemudian bergerak dari satu keadaan
ke keadaan yang lain sesuai dengan
aturan yang ada dan mengakhiri permainan jika salah satu telah
tercapai.



Sehingga untuk mendeskripsikan masalah dengan baik maka
harus :




  1. Mendefinisikan suatu ruang keadaan

  2. Menetapkan satu atau lebih ruang keadaan

  3. Menetapkan satu atau lebih sasaran

  4. Menetapkan kumpulan aturan



 



2.2 ���� Cara Merepresentasikan
Ruang Keadaan



Beberapa cara untuk merepresentasikan ruang keadaan yaitu.



 



A.     Graph Keadaan



Graph terdiri dari node-node yang menunjukkan keadaan yaitu keadaan awal
dan keadaan baru yang akan
dicapai dengan menggunakan operator, antara node
dihubungkan dengan menggunakan busur panah untuk menunjukkan
arah dari suatu keadaan ke
keadaan berikutnya.



 





Gambar 2.1 Graph Keadaan



 



B.     Pohon Pelacakan



Mengikuti struktur
pohon untuk menggambarkan keadaan secara hierarki, terdiri dari node-node yang memiliki level, mulai dari level 0 yang menunjukkan keadaan awal (akar)
biasanya merupakan obyek, node akar memiliki beberapa percabangan terdiri dari node berikutnya (successor) dan
merupakan node antara. Jika dilakukan pencarian mundur maka dikatakan
bahwa node tersebut memiliki sebelumnya (predecessor).
Node
yang
tidak memiliki anak dinamakan node daun, yang menunjukkan akhir pencarian, dapat juga berupa
tujuan atau jalan buntu (dead end).



 



 





Gambar 2.2 Pohon Pelacakan



 



 



2.3 ���� Metode Pencarian



Hal penting dalam menentukan keberhasilan sistem berdasar kecerdasan adalah kesuksesan dalam pencarian dan pencocokan. Pada dasarnya ada 2 teknik pencarian yang digunakan yaitu pencarian buta (blind search) dan
pencarian terbimbing (heuristic search).



 



2.3.1 Pencarian Buta (blind search)



A. Pencarian
Melebar Dahulu (Breadth-First Search)



Pada metode ini semua node pada level ke�n akan dikunjungi
terlebih dahulu sebelum mengunjungi node-node pada level n+1. Pencarian dimulai dari node akar lalu ke
level
ke 1 dari arah kiri menuju
kanan hingga solusi ditemukan seperti yang nampak pada gambar di
bawah ini.





Gambar 2.3 Metode Breadth-First Search



 



Algoritma.




  1. Buat suatu variable NODE_LIST dan
    tetapkan sebagai keadaan awal

  2. Kerjakan langkah-langkah berikut sampai tujuan tercapai atau NODE_LIST kosong :



a)    
Hapus elemen pertama dari NODE_LIST, beri nama E. Jika
NODE_LIST
kosong, keluar.



b)    
Untuk setiap langkah yang cocok dengan aturan
E,
lakukan ;



1)    
Aplikasikan aturan tersebut untuk membentuk suatu keadaan baru



2)    
Jika keadaan awal adalah
tujuan yang diharapkan sukses dan keluar



3)    
Jika tidak tambahkan keadaan awal yang baru tersebut pada
akhir NODE_LIST



 



Keuntungan



1.     
Tidak akan menemui jalan
buntu



2.     
Jika ada satu solusi,
maka Breadth-First
Search
akan menemukannya, dan jika lebih dari
satu solusi maka solusi minimum akan ditemukan.



 



Kerugian



1.     
Membutuhkan memori yang cukup banyak karena menyimpan
semua node dalam satu pohon.



2.     
Membutuhkan waktu yang cukup lama di dalam pencarian
karena menguji n level untuk mendapatkan solusi pada level ke n+1.



 



B. Pencarian Kedalaman Dahulu(Depth-First
Search
)



Proses pencarian akan dilakukan pada semua anaknya
sebelum dilakukan pencarian ke node-node pada level yang sama. Pencarian
dimulai dari node akar hingga ke level yang lebih tinggi. Proses diulangi terus
hingga ditemukan solusinya.





Gambar 2.4 Metode Depth-First
Search



 



 



Algoritma




  1. Jika keadaan awal adalah
    tujuan yang diharapkan, sukses maka keluar.

  2. Jika tidak, kerjakan
    langkah-langkah berikut ini hingga tercapai keadaan sukses atau gagal:



a)    
Bangkitkan keadaan
berikut (
succesor) E dari keadaan
awal. Jika tidak ada
succesor maka
akan terjadi kegagalan.



b)    
Panggil depth-first search dengan E sebagai
keadaan awal.



c)    
Jika sukses berikan
tanda sukses namun jika tidak ulangi langkah nomor 2.



Keuntungan




  1. Membutuhkan memori yang
    relatif lebih kecil karena hanya node-node pada lintasan yang aktif saja
    yang disimpan.

  2. Secara kebetulan metode depth-first search akan menemukan
    solusi tanpa harus menguji lebih banyak lagi dalam ruang keadaan.



Kelemahan




  1. Memungkinkan tidak
    ditemukan tujuan yang diharapkan

  2. Hanya akan mendapat kan
    satu solusi pada setiap pencarian.



 



2.3.2 Pencarian Heuristik



Ada 4 metode Pencarian Heuristik :




  1. Bangkitkan dan test (Generate and
    Test)

  2. Mendaki bukit (Hill Climbing)

  3. Pencarian terbaik dahulu
    (Best first search)

  4. Simulated annealing



Pencarian heuristic tidak selalu dapat diterapkan dengan baik karena
membutuhkan waktu akses yang cukup lama serta membutuhkan memori yang besar.
Hal ini dapat diatasi jika ada informasi tambahan dari domain yang
bersangkutan.



 



2.3.2.1 Generate and Test



Metode ini merupakan penggabungan antara depth-first search dengan
backtracking, yaitu bergerak ke belakang menuju pada suatu keadaan awal. Nilai
pengujian merupakan jawaban �ya� atau �tidak�.



 



Algoritma




  1. Bangkitkan suatu
    kemungkinan solusi ; titik tertentu atau lintasan tertentu dari keadaan
    awal.

  2. Uji apakan node tersebut
    benar-benar merupakan solusinya dengan cara membandingkan node tersebut
    atau node akhir dari suatu lintasan yang dipilih dengan kumpulan tujuan
    yang diharapkan

  3. Jika solusi ditemukan,
    keluar. Jika tidak ulangi kembali langkah pertama.



 



 



2.3.2.2 Hill Climbing



Metode ini hampir sama dengan Generate
and Test
hanya pada proses pengujian dilakukan dengan menggunakan fungsi
heuristik. Pembangkitan keadaan berikutnya sangat tergantung dari
feedback prosedur pengetesan. Tes yang
berupa fungsi heuristik ini akan menunjukkan seberapa baiknya nilai terkaan
yang diambil terhadap keadaan-keadaan lainnya yang mungkin.



 



1. Simple
Hill Climbing



Algoritma



1.     
Lakukan pengujian
dari keadaan awal, jika merupakan sasaran maka berhenti; dan jika tidak
lanjutkan dengan keadaan sekarang sebagai keadaan awal.



2.     
Kerjakan
langkah-langkah berikut sampai solusinya ditemukan, atau sampai tidak ada
operator baru yang akan diaplikasikan pada keadaan sekarang;



a)    
Pilih operator yang
belum pernah digunakan, lalu gunakan untuk mendapatkan keadaan baru



b)    
Evaluasi keadaan
baru tersebut;



1)    
Jika keadaan baru
merupakan sasaran, keluar



2)    
Jika bukan tujuan
namun nilainya lebih baik daripada keadaan sekarang maka jadikan keadaan baru
tersebut menjadi keadaan sekarang



3)    
Jika keadaan baru
tidak lebih baik daripada keadaan sekarang maka lanjutkan iterasi.



 



Pada Simple Hill
Climbing
ada tiga masalah yang
mungkin yaitu.



1.     
Algoritma akan
berhenti jika mencapai nilai optimum lokal.



2.     
Urutan penggunaan
operator akan sangat berpengaruh pada penemuan solusi.



3.     
Tidak diijinkan
untuk melihat satupun langkah sebelumnya.



 



2. Steepest
Hill Climbing



Hampir sama dengan Hill climbing hanya gerakan pencarian tidak dimulai dari posisi
paling kiri, gerakan selanjutnya dicari berdasarkan nilai heuristik yang
terbaik. Operator tidak menentukan penemuan solusi.



 



2.3.2.3 Best first search



Merupakan kombinasi dengan mengambil kelebihan dari metode depth-first search dan metode breadth-first search. Pada metode ini,
pencarian diperbolehkan mengunjungi node yang ada di level yang lebih rendah,
jika node yang lebih tinggi memiliki nilai heuristik yang lebih buruk.
Implementasi motode ini dengan menggunakan graph keadaan.



 



2.3.2.4 Simulated annealing



Metoda ini dikembangkan berdasarkan mekanika statistik. Biasanya digunakan
untuk menyelesaikan masalah dimana perubahan keadaan dari suatu kondisi ke
kondisi lainnya membutuhkan ruang keadaan yang sangat besar.



Algoritma




  1. Evaluasi keadaan awal, jika
    merupakan sasaran maka pencarian berhasil.

  2. Inisialisasi Keadaan
    Terbaik Sejauh ini (
    Best_So_Far)
    untuk keadaan sekarang

  3. Inisialisasi T sesuai
    dengan penjadwalan (
    annealing
    schedule)

  4. Kerjakan hingga solusi
    ditemukan atau sudah tidak ada operator baru lagi akan diaplikasikan
    kedalam kondisi sekarang.


    1. Gunakan operator yang
      belum pernah digunakan untuk menghasilkan kondisi baru

    2. Evaluasi kondisi baru
      dengan menghitung :




Perubahan
�energi� Δ
E = E(nilai sekarang) � E(nilai
keadaan baru)



1)    
Jika kondisi baru
merupakan sasaran, maka pencarian berhasil dan keluar



2)    
Jika bukan sasaran
namun memiliki nilai yang lebih baik dari kondisi sekarang, maka tetapkan
kondisi baru sebagai kondisi sekarang, dan inisialisasi sebagai Terbaik Sejauh
ini (
Best_So_Far).



3)    
Jika nilai kondisi
baru tidak lebih baik dari kondisi skarang, maka tetapkan kondisi baru sebagai
kondisi sekarang dengan probabilitas:





c.      Perbaikinilai �temperatur�
T sesuai
annealing schedule




  1. Best_So_Far adalah kondisi yang dimaksud.